Article Index

Al-Quran dan Politik

Diskusi seputar ruang lingkup pengamalan al-Quran membawa perdebatan hingga saat ini. Terutama saat al-Quran dikaitkan dengan politik. Ada yang menolak sama sekali al-Quran dikaitkan dengan politik.  Ada yang mengatakan al-Quran dapat dikaitkan dengan politik, tetapi sebatas nilai-nilainya saja. Ada pula yang tegas mengatakan bahwa al-Quran dan politik tak bisa dipisahkan.

Perdebatan di atas juga tak bisa dilepaskan dari bagaimana memaknai politik itu sendiri. Setidaknya ada dua perspektif tentang makna politik. Pertama: Politik dimaknai sebagai seni untuk mendapatkan kekuasaan. Dari sini seorang “politisi” akan berusaha dengan segala cara untuk meraih kekuasaan. Tak peduli halal-haram. Inilah logika politik machiavellis. Makna politik menghalalkan segala cara inilah yang saat ini sedang berlangsung dan banyak digandrungi oleh para politisi di negeri ini.

Kedua: Politik dimaknai sebagai siyasah, yaitu pengaturan urusan umat (ri’ayah syu’un al-ummah). Inilah makna sesungguhnya dari politik. Penekanannya pada aspek pengurusan, pelayanan dan pengaturan urusan rakyat. Bukan pada kekuasaan. Kekuasaan hanya alat yang diperlukan semata-mata untuk kemaslahatan umat. Inilah makna politik yang dikehendaki Islam. Oleh karena itu politik Islam dapat dimaknai sebagai pengaturan urusan umat (rakyat) dengan hukum-hukum Islam.

Definisi ini antara lain diambil dari sabda Rasulullah saw., “Seseorang yang ditetapkan Allah (dalam kedudukan) mengurus kepentingan umat dan dia tidak benar-benar mengurus mereka, dia tidak akan mencium bau surga.” (HR al-Bukhari).

Rasulullah saw. pun bersabda, “Dulu, Bani Israil selalu diurus (tasûsûhum) oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, ia digantikan oleh nabi yang lain. Sungguh tidak akan nabi sesudahku. Yang akan ada adalah para khalifah.” (HR Muslim).