Imam Ibnu Abiy Syaibah dan Abu Nu’aim di dalam al-Hilyah, mengeluarkan sebuah hadits dari Hudzaifah ra, bahwasanya beliau berkata:

إياكم ومواقف الفتن! قيل وما مواقف الفتن؟ قال أبواب السلطان والأمراء؛ يدخل أحدكم على الأمير، فيصدقه بالكذب، ويقول ما ليس فيه

“Berhati-hatilah kalian terhadap tempat-tempat fitnah! Ditanyakan kepada beliau, “Apa tempat-tempat fitnah itu?  Beliau menjawab, “Pintu-pintu penguasa dan para pemimpin.  Seorang seseorang di antara kalian mendatangi pemimpin (amir), lalu membenarkannya dalam kedustaan, dan mengatakan apa yang tidak sebenarnya”.[HR. Imam Ibnu Abiy Syaibah dan Abu Nuaim]

Imam Ibnu ‘Asakir menuturkan sebuah riwayat dari Abu Umamah al-Bahiliy ra, bahwasanya beliau berkata, “Nabi SAW bersabda:

أبغض الخلق من الله، رجل يجالس الأمراء، فما قالوا من جور صدقهم عليه

“Makhluk yang paling dimurkai Allah SWT adalah seorang laki-laki yang duduk (bergaul) dengan para pemimpin, dan setiap mereka mengatakan kelaliman, ia membenarkan mereka”. [HR. Imam Ibnu ‘Asakir]

Dinukil dari Kitab Maa Rawaahu al-Asaathiin fiy ‘Adam al-Maji` ila al-Salaathiin.

 Catatan:

Dianjurkan bagi setiap muslim mendoakan penguasa agar mereka amanat dan diberi kekuatan mengemban tugas. Haram mendukung kezaliman dan kebohongan siapapun pelakunya, karena taat pada manusia hanya diperbolehkan jika tidak melanggar aturan Allah SWT . 

"BAHAYANYA PERBUATAN ULAMA SAAT MASUK KE TEMPAT UMARA (PEJABAT) YANG DZHOLIM"

PENJELASAN KITAB IHYA' ULUMUDDIN

Oleh : Al Ustadz Al Habib Taufiq bjn Abdul Qadir bin Husein Assegaf - Pasuruan 

(Lanjutan I)

Berkata Al Imam Al Ghozaliy RA :

فنقول : الداخل على السلطان متعرَّض لأن يعصي الله تعالى إما بفعله أو بسكوته، وإما بقوله وإما فلا ينفكّ عن أحد هذه الأمور

"(Ulama) yang masuk ketempat pemimpin dan pejabat itu telah memberanikan dirinya untuk bermaksiat kepada Allah SWT. Bisa dengan perbuatannya atau dengan tindakan diamnya. Atau bisa dengan pernyataannya maupun dengan keyakinannya. Maka dia  tidak akan terlepas dari melakukan salah satunya".

DENGAN PERBUATANNYA :

•jika dia memasuki tempat pejabat dzholim yang mengambil harta rakyat, maka jika ulama itu duduk, dia telah duduk di atas harta haram. 

jika dia diberikan suguhan makanan, maka dia telah memakan harta haram. Bahkan jika ulama itu sholat di tempat pejabat yang dzholim, maka sholatnya bisa ditolak oleh Allah SWT karena sholat di tempat dibangun dari harta yang tidak halal.

DENGAN SIKAP DIAMNYA :

•Jika ulama itu melihat di tempat para pemimpin maupun pejabat banyak kemungkaran, seperti : cerita bohong, rencana kedzholiman, pertunjukan yang mengumbar aurot, suguhan makanan atau minuman haram, dsb. Tetapi dia tidak melaksanakan amar ma'ruf dan nahi mungkar (melarang kemungkaran), maka dengan sikap diamnya itu, dia berdosa. karena mendiamkan perbuatan kemungkaran itu tidak diperbolehkan

DENGAN PERNYATAANNYA :

•jika ulama yang masuk ke tempat pejabat dzholim itu mendoakan tetapnya kekuasaannya, membenarkan keddzholimannya, atau bahkan memuji-muji perbuatannya, maka itu semua adalah dosa. Bahkan mengucapkan salam (mendoakan keselamatan) bagi pemimpin yang dzholim lebih tepatnya, tidak perlu dilakukan, karena mereka telah melanggar aturan Allah SWT.

Dalam hadits :

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : 

إنّ الله لَيبغض إذا مُدِح الْفاسق

Rosululloh SAW bersabda : 

"Sungguh Allah benar-benar marah jika ada pelaku kedzholiman dan kefasikan dipuji-puji".

مَن دعا لظالم بالبقاء فقد أحبّ أن يُعصى الله في أرضه

"Siapa yang mendoakan panjang umur kepada orang yang berbuat dzholim, itu berarti dia merasa senang kalau bumi Allah ini selalu dimaksiati".

مَن أكرمَ فاسقا فقد أعان على هدم الإسلام

"Siapa pun yang memuliakan (pemimpin atau pejabat) yang berbuat kedzholiman, maka dia itu benar-benar telah membantu untuk kehancuran agama Islam".

 

TIDAK BOLEH MASUK KE TEMPAT PEMIMPIN ATAU PEJABAT YANG DZHOLIM, kecuali karena 2 alasan ini :

1. Hendaknya tujuannya karena urusan yang wajib, bukan untuk memuliakan pejabat.

Seperti : 

Jika dia tidak mendatangi panggilannya akan disiksa, atau jika dia tidak datang maka seluruh kaumnya juga akan ikut menentang terhadap pemimpin. Maka kedatangannya itu untuk menjaga kemaslahatan umat.

2. Hendaknya masuk ke tempat para pemimpin dan pejabat yang dzholim itu hanya untuk menasehati kedzholimannya. 

Tetapi dengan syarat : 

Tidak berbohong (menyampaikan nasehat apa adanya), dan tanpa memuji-muji kedzholimannya.

(IHYA ULUMIDDIN juz 2 hal. 127)

Bagi anda yang akrab dengan Al Qur’an, tentu sering mendapati ayat-ayat yang melarang kaum mu’minin menjadikan orang kafir sebagai auliya pada ayat yang sangat banyak. Setidaknya ada 9 ayat yang akan kita nukil di sini yang melarang menjadikan orang kafir sebagai auliya.

Makna auliya (أَوْلِيَاءَ) adalah walijah (وَلِيجةُ) yang maknanya: “orang kepercayaan, yang khusus dan dekat” (lihat Lisaanul ‘Arab). Auliya dalam bentuk jamak dari wali (ولي) yaitu orang yang lebih dicenderungi untuk diberikan pertolongan, rasa sayang dan dukungan (Aysar At Tafasir, 305).

Jangan Jadikan Orang Kafir Sebagai Orang Kepercayaan Dan Pemimpin

[Ayat ke-1] 

لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ

“Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi auliya dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu)” (QS. Al Imran: 28) 

Ibnu Abbas radhiallahu’anhu menjelaskan makna ayat ini: “Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarang kaum mu’minin untuk menjadikan orang kafir sebagai walijah (orang dekat, orang kepercayaan) padahal ada orang mu’min. Kecuali jika orang-orang kafir menguasai mereka, sehingga kaum mu’minin menampakkan kebaikan pada mereka dengan tetap menyelisihi mereka dalam masalah agama. Inilah mengapa Allah Ta’ala berfirman: ‘kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka‘” (Tafsir Ath Thabari, 6825).

[Ayat ke-2]