Sikap Para Habaib Ba Alawi Tentang Syi’ah Rafidhah

 

–  Siapakah Para Habaib Ba ‘Alawi?

Mereka adalah kelompok Ahlul Bait yang bertempat tinggal di Hadromaut Yaman sejak akhir abad ketiga hijriyah. Dari keturunan Imam Alawi bin Imam Ubaidillah bin Imam Al-Muhajir Ahmad bin Imam ‘Isa bin Imam Muhammad bin Imam ‘Ali Al-‘Uroidli bin Imam Ja’far Shodiq bin Imam Muhammad Al-Baqir bin Imam Zainul ‘Abidin ‘Ali bin Imam Al-Husain Al-Sibthi bin Sayyidina Al-Imam ‘Ali bin Abi Tholib Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memulyakannya bin Sayyidatuna Fatimah Al-Zahro’ binti Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam.

Mereka adalah orang-orang yang mulia, termasuk ahlul ‘ilmi, amal dan adil. Thoriqotnya –dibangsakan pada kakeknya– bernama ‘Alawiyah yang mereka terima secara turun temurun dari orang tua sepanjang zaman.

Aqidahnya berdasarkan al-Qur’an dan al-Sunnah. Tahap awal adalah mengutamakan dan mengedepankan akhlaq dan amal, sedangkan tahap akhirnya penyucian diri dan penyaksian ni’mat hakiki dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Semua itu berazaskan tiga pilar ajaran yang telah disebutkan dalam kata mutiara Imam Abdillah bin Alawi Al-Haddad:

”Berpegang teguhlah pada al-Qur’an ikutilah sunnah Rasul, teladani Salafusshalih,niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi hidayah padamu.”

 Bagaimana sikap Para Habaib Ba Alawi terhadap Syi’ah Rafidhah?

Sikap mereka terhadap Syi’ah Rafidhah akan saya jelaskan dengan dalil-dalil yang menyangkut keteguhan para Habaib Ba Alawi dalam memegang thoriqoh Ahlussunnah wal Jama’ah dan bebasnya mereka dari Syi’ah Rafidhah juga dari setiap perkara yang bisa merendahkan derajat para tokoh shahabat Radhiyallahu ‘anhu.

Kita memulai dengan kesaksian yang benar tentang para Habaib Ba Alawi dari Syaikh Yusuf bin Isma’il al-Nabhani yang mengatakan dalam kitabnya  al-Asalib al-Badi’ah fi Fadllis Shohabah wa Iqnai al-Syi’ah  hal 495: “Keturunan Nabi jikalau mereka mengunggulkan kakeknya (Ali Radhiyallahu ‘anhu) sebab kecintaan mereka kepadanya itu sama sekali tidak dapat mempengaruhi keutamaan Abu Bakar dan Umar.” Ini adalah pendapat mayoritas  ulama dari kalangan habaib apalagi  sadat (sesepuh) para Habaib Ba Alawi  yang notabene bermadzhab Ahlulsunnah wal Jama’ah pasti mengunggulkan keutamaan Abu bakar dan Umar dari pada Ali Radhiyallahu ‘anhu. Hal tersebut juga ditetapkan dalam kitab mereka dan dijadikan kurikulum dalam mata pelajaran di madrasah mereka.

Hanya  dengan pertolongan Allah Subhanahu wa Ta’ala lah, mereka tetap konsis dan eksis melakukan syari’at Islam mengalahkan tuntutan hawa nafsu.

Teladanilah pernyataan mereka -yang kami terangkan di bawah ini- yang menyerukan untuk selalu konsis dengan ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah dan terhindar dari Rafidhah dan faham sesatnya.

 Imam Abdullah bin Alawi bin Muhammad Al-Haddad setelah menerangkan Syi’ah Rafidhah, berkomentar: ” Rafidhah adalah golongan sesat. Mereka tidak bisa dipercaya dalam hal apapun,  karena jika ada sedikit kebenaran pasti mereka campur dengan kebatilan, maka tidak ada sedikit pun kebenaran yang tersisa dari mereka layaknya seseorang membuat mentega dari kotoran.

Anggapan mereka bahwa Sayyidina Ali Radhiyallahu ‘anhu lebih berhak menjadi khalifah jikalau itu benar pasti yang menjadi kholifah setelah wafatnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa sallam adalah beliau, padahal kenyataan yang ada pada saat itu justru  mayoritas shahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam termasuk Ali Radhiyallahu ‘anhu sepakat membaiat Abu Bakar menjadi khalifah. Dikarenakan beliau adalah shahabat yang paling senior, pernah suka duka bersama Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam di Gua Hira’ dan beliau juga pernah diperintah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam untuk mengimami sholat di masa hidupnya. Pada awalnya beliau berijtihad memberikan kursi kekhilafahan kepada Umar, akan tetapi Umar Radhiyallahu ‘anhu justru menyerahkannya kepada lembaga permusyawaratan yang telah dibentuk dengan beranggotakan enam shahabat termasuk Sayyidina Ali Radhiyallahu ‘anhu. Dan cukup bagi Ali Radhiyallahu ‘anhu keutamaan dan keistimewaan walaupun kepemimpinan beliau paling akhir.

Adapun tuduhan Rafidhah terhadap Ali Radhiyallahu ‘anhu sebab beliau tidak berkomentar banyak seputar khilafah karena taqiyah, maka sesungguhnya itu bukan semata-mata karena takut  akan tetapi karena beliau ingin menjaga kesatuan dan kebersamaan umat Islam serta menghindari perpecahan di dalamnya.” Keterangan dari kitab Tatsbitul al-Fu’ad.

 Masih dalam kitab tersebut Imam Abdullah Alawi Al-Haddad juga berkata: “Ketika Syi’ah Zaidiyah sampai ke negara Yaman, mereka banyak bertanya tentang beberapa hal, mereka berkata kepada kami: kenapa kalian semua mendahulukan orang lain dari pada Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhum? lalu kami menjawab: Beliau sendirilah yang melakukan hal itu, maka kami mengikuti apa yang beliau lakukan, mereka berkata: Itu Cuma Taqiyah belaka, kami menjawab: Kami tidak sehebat dan seberani beliau. Kalau memang benar Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu melakukan Taqiyah lalu siapakah orang yang lebih kuat atau mengimbanginya dalam kejantanan dan keberaniannya?

Di dalam kitab Al-Nashaih Al-Diniyyah pada bagian akhir ketika membahas tentang aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah menjelaskan: Bagi setiap muslim wajib meyakini keutamaan para shahabat dan tingkatan mereka dan mereka itu adalah orang-orang yang adil dan terpilih tidak diperbolehkan menghujat mereka. Sesungguhnya khalifah yang benar setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam adalah Abu Bakar Radhiyallahu ‘anhu, Umar Radhiyallahu ‘anhu, Utsman Radhiyallahu ‘anhu  kemudian Ali Radhiyallahu ‘anhu.

Beliau berkata dalam kitab Al-Da’wah Al-Taammah: “Merupakan suatu keharusan bagi kita untuk tidak membahas konflik yang terjadi diantara para shahabat setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam, seperti perang Jamal, Shiffin. Menyikapi hal tersebut bagi seorang muslim harus memberikan jalan dan solusi terbaik mengingat keagungan derajat mereka. Sebagai seorang yang baik haruslah seperti apa yang difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala:

Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan Saudara-saudara kami yang Telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.”

(Q.S. al-Hasyr: 10).

 Diriwayatkan dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa sallam beliau bersabda:

“Ketika (polemik/konflik) shahabatku dibahas  maka diamlah kalian (dari berkomentar buruk).” (H.R. Thabrani dan Al-Harist bin Abu Usamah dari Ibnu Mas’ud).

Dan Beliau juga bersabda:

“Shahabat-shahabatku laksana bintang-bintang siapapun diantara mereka kalian ikuti maka kalian pasti mendapat petunjuk.” (H.R. Thobaroni dan al-Haitsami).

Beliau juga bersabda:

“Hormati dan muliakanlah para shahabat dan keluargaku, jangan pernah mencaci maki mereka. Barangsiapa yang melakukan hal tersebut maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan melindunginya di dunia dan akhirat. Barangsiapa yang melakukan sebaliknya,maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan meninggalkannya. Barangsiapa yang ditinggalkan Allah Subhanahu wa Ta’ala maka dikhawatirkan mendapat siksaan-Nya.” (H.R. Thobaroni dan Ibnu Asakir).

Dan beliau bersabda:

“Hormati dan muliakanlah para shahabatku dan jangan sekali-kali mereka kalian jadikan bahan hinaan, sebab orang yang bisa mencintai mereka itu karena mencintaiku dan sebaliknya, orang yang memusuhi mereka tak lain karena memusuhiku. Barangsiapa yang menyakitiku berarti menyakiti Allah Subhanahu wa Ta’ala dan siapa saja yang menyakiti Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti dia akan mendapatkan siksa.” (H.R. At-Tirmidzi, Ahmad, Baihaqi).

 Dan Beliau bersabda:

 “Jangan kalian mencaci maki shahabat-ku, demi dzat yang menguasai jiwa-ku, andaikan salah satu dari kalian bersedekah emas sebesar gunung Uhud niscaya tidak akan bisa menandingi sedekah mereka satu mud dan/atau setengahnya.” (H.R. Bukhori Muslim).

 Beliau Imam Abdullah Alawi Al-Haddad bersya’ir dalam kitabnya Al-Durrul Al-Manzhum li Dzawil Uqul Wal Fuhum:

 Para shahabat Nabi yang mulia adalah pemimpin baik Muhajirin maupun Anshor.

 Laksana bintang-bintang pemberi petunjuk, dermawan, pemurah hati,

dan bertanggung jawab atas amanat yang dipikulnya

 Mereka golongan yang mendapat hidayah Tuhan

maka ikutilah Dan bermulazamah dengan mereka jangan sampai engkau berpaling

 Jangan pernah memusuhinya, sebab mereka sumber hidayah

Dan para penyampai ilmu Al-Qur’an dan Al-Sunnah

 Orang yang mengejeknya berarti mendekostruksi dasar agama

 Dan terpeleset dalam jurang kesesatan

Sayyid Abdurrahman bin Hamid Al-Sari berkata dalam kitabnya Nafahat Al-Nashim Al-Hajiri Min Kalami Syaikhil Islam Abdullah bin Umar Al-Syathiri hal 340 mengutip langsung dari Imam Abdullah Al-Syathiri termasuk pemimpin para Habaib Ba ‘Alawi: pada bulan Syawal Tahun 1359 H. disaat kita belajar ilmu tajwid beliau memberi nasehat kepada kami setelah memberikan kajian ilmiah khusus mendalami seputar polemik dan konflik antara para shahabat Nabi serta berpesan agar tidak membahasnya terlalu dalam. Saking pentingnya beliau hampir tidak mau berdiri untuk mengakhirinya.

Di antara nasehat-nasehatnya adalah: “Wahai anakku, pegangilah nasehatku ini: Barangsiapa yang ingin ilmunya bermanfaat dan berpegang teguh pada thoriqoh A’lawiyyin serta menjadi orang yang dicintai, maka jauhilah membahas polemik dan konflik para shahabat Nabi dan jangan sekali-kali menanggapi orang yang membahasnya.

Apa yang terjadi antara shahabat Nabi Janganlah kita komentari,

Cukup bagi kita berkata: “Mereka berhak mendapatkan pahala atas ijtihad mereka.”

Ada sebuah pertanyaan diajukan kepada Ibnul Mubarok; mana yang lebih utama antara Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu dan Umar bin Abdul Aziz? beliau menjawab: sisa-sisa debu yang menempel pada hidung kudanya Mu’awiyah Radhiyallahu ‘anhu itu lebih utama dari pada Umar bin Abdul Aziz. Walaupun hakikat kebenaran berpihak kepada Sayyidina Ali Radhiyallahu ‘anhu tetapi tidak baik membahas permasalahan ini kecuali orang yang pandir lagi bodoh.

(Dikutip sebagian dari tulisan panjang berjudul TENTANG SYI’AH  yang diposkan Hermanzsyah Reza Jakarta, D.K.I Jakarta, Indonesia, Jumat, Februari 28, 2014).