Suatu ketika Abu Hamzah Ash-Shufi menemui Sahal lalu Sahal berkata; 

“Kamu kemana saja, wahai Abu Hazmah?”

Ia menjawab, “Aku bersama si fulan, lalu ia memberitahukan kami bahwa mabuk itu ada empat.”

Sahal berkata, “Coba sebutkan!”

Abu Hamzah berkata, “Mabuk minuman, mabuk masa muda, mabuk harta, dan mabuk kekuasaan.” 

Sahal berkata, “Ada dua lagi mabuk yang tidak ia beritahukan kepadamu.”

“Apa itu?” tanya Abu Hamzah.

Sahal berkata, “Mabuknya orang alim ketika ia mencintai dunia, dan mabuknya ahli ibadah ketika ia senang menjadi perhatian.” 

Ulama rabbani tidak ikut campur dalam dunia orang. Sahal berkata terkait hal ini, “Setiap ulama yang terjun ke dunia itu tak usah kau dengarkan kata-katanya. Bahkan kata-katanya harus dicurigai, karena setiap orang tentu menolak apapun yang tidak sesuai dengan keinginan kekasihnya.” 

Para ulama menghadap kepada Allah dengan ikhlas tanpa menginginkan harta benda, kedudukan, ataupun kenikmatan fana di balik semua itu. Mereka tidak menyekutukan siapapun bersama Allah dalam orientasinya.

Mereka ini tegak di atas perilaku lurus masyarakat, baik dalam tingkah-laku, akidah, maupun ibadah. Mereka ini tetap menjalankan kewajiban menasihati rakyat dan pemimpin. Sesekali, rakyat menerima nasihat yang mereka sampaikan dan sesekali pula mereka merasa jengkel. 

Apapun yang terjadi, apakah rakyat merasa jengkel ataupun menerima nasihat yang disampaikan, para ulama ini tetap meniti jalan hidayah tanpa terpengaruh dengan pujian dan cacian dari siapa pun.

Ulama akan selalu menasehati walau digunjing dan dimaki, tak melayang ketika dipuji dan tak tumbang ketika dicaci. Semua karena Allah dan untuk Allah, tekad mereka tidak akan terbendung oleh harta dan kedudukan, tujuan mereka adalah ridha Ilahi.